
“Majelis dzikir yang paling utama adalah majelis yang mengajarkan bagaimana kita benar dalam beribadah kepada Allah SWT.”
Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW mendapat berita bahwa seorang
sahabat yang tinggal jauh dari Madinah telah wafat. Ketika itu
Rasulullah baru saja bermaksud menanyakan kabar terakhir sahabat itu,
karena sebelumnya beliau mendengar bahwa ia sakit dan beliau belum
sempat menjenguk karena jarak yang begitu jauh.
Mendengar berita
bahwa sahabat yang ditanyakan telah wafat, Rasulullah SAW bertanya
kepada orang yang membawa berita, “Apakah ia mengatakan sesuatu sebelum
meninggalnya?”
Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”
“Apa yang diucapkannya?” tanya Rasulullah SAW.
“Andaikan Dulu...”
“Ia
mengucapkan, ‘Aduhai, coba andaikan dulu itu banyak. Aduhai, coba
andaikan dulu itu baru. Aduhai, coba andaikan dulu itu sempurna.’ Dan
sungguh kami semua tidak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan
‘banyak, baru, dan sempurna’ itu,” tutur sahabat pembawa berita tadi
kepada Nabi SAW.
“Maksud ucapannya ‘andaikan dulu itu banyak’,
suatu ketika ia hendak melaksanakan shalat berjama’ah. Di jalan, ia
berjumpa seorang yang buta. Maka ia menuntun orang buta itu menuju
masjid untuk shalat berjama’ah. Pada saat ia hendak meninggal, Allah SAW
tunjukkan betapa besarnya pahala amalnya ketika menuntun orang tua buta
menuju masjid itu. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan dulu itu
banyak.’ Banyak kesempatan menolong orang buta dan kesempatan baik
lainnya untuk tidak disia-siakan, karena begitu besar pahalanya.
Ucapannya
‘andaikan dulu itu baru’, maksudnya, suatu ketika ia keluar hendak
shalat Shubuh berjama’ah. Kala itu cuaca teramat dingin dan berkabut. Di
tengah jalan ia menjumpai orang tua di pinggir jalan tengah menggigil
kedinginan, mungkin tidak akan selamat karena menahan dingin yang begitu
mencekam kalau tidak segera ditolong. Pada saat itu si Fulan mengenakan
dua lapis pakaian, sehelai pakaian yang baru dan sehelai lainnya sudah
usang. Melihat kondisi orang itu, ia melepaskan pakaian tebalnya yang
sudah usang dan memberikannya kepada si tua yang tengah menggigil
kedinginan. Pada saat hendak meninggal, Allah SWT tunjukkan betapa besar
pahala yang akan diterimannya karena telah memberikan baju usangnya
kepada si tua itu. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan dulu itu baru.’
Bukan yang usang yang ia berikan kepada orang tua itu. Pastilah lebih
besar lagi pahala yang akan Allah SWT berikan.
Adapun ucapannya
‘andaikan dulu itu sempurna’, madsudnya, suatu ketika ia pergi berdagang
seperti kebiasaannya. Sepulang berdagang ia segera menemui istrinya
seraya menanyakan apakah ada makanan yang tersedia, karena lapar sudah
teramat terasa sehingga tubuhnya mulai lemas. Sang istri memberitahukan
bahwa tidak ada makanan yang tersisa kecuali hanya sekerat roti kering.
Karena sudah tak lagi mampu menahan rasa lapar, ia meminta istrinya
untuk segera mengambil roti tersebut dengan segelas air untuk mengganjal
perutnya. Baru saja hendak menyantap roti itu, tiba-tiba terdengar ada
seseorang mengetuk pintu dari luar. Buru-buru ia membuka pintu dan
didapatinya seorang tua lusuh berdiri di depan pintu. Orang itu memohon
agar ia sudi memberikan makanan untuk menghilangkan rasa laparnya yang
sudah teramat berat dirasakan karena seharian tidak menemukan makanan
apa pun. Menyaksikan orang tua nan teramat lusuh itu, hatinya merasa
iba. Sekerat roti yang hendak dimakannya tadi ia belah menjadi dua
bagian dan ia memberikan satu bagian kepada orang tua lusuh tadi. Pada
saat menjelang kematiannya, Allah SWT memperlihatkan besarnya pahala
yang akan diterimanya karena amalanya menolong orang tua lusuh itu
dengan memberinya sepotong roti. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan
dulu itu sempurna.’ Sempurna yang ia berikan kepada orang tua yang lapar
itu, pastilah akan lebih besar dan sempurna lagi pahala serta balasan
yang akan diterimannya,” tutur Rasulullah SAW menjelaskan kepada para
sahabat yang ada di sekeliling beliau pada saat itu tentang maksud
ucapan sahabat yang diberitakan telah meninggal dunia tersebut.
Menghormati Orang Tua

Begitu mulia akhlaq Imam Ali dalam menghormati orang tua. Ini karena
ia selalu mengingat sabda Rasulullah SAW, “Bukan golongan kami orang
yang tidak menghormati orang yang tua di antara kami dan tidak
menyayangi orang yang kecil di antara kami.”
Setelah beberapa
saat berada di belakang orang tua itu, sesampainya di depan masjid,
ternyata orang tua itu tidak masuk ke dalam masjid, karena ternyata dia
orang Yahudi.
Imam Ali kemudian memuji Allah SWT. Ia berucap, “Alhamdulillah.”
Di
dalam masjid, Rasulullah SAW tengah mengimami shalat berjama’ah. Ketika
Imam Ali masuk ke dalam masjid, Rasulullah dan para sahabat sedang
ruku’ rakaat keempat. Agak lama beliau tetap dalam posisi ruku’ sampai
Imam Ali masuk ke dalam shaf. Setelah itu barulah Rasulullah mengangkat
kepalanya. Dan kali itu Rasulullah tidak membaca bacaan yang biasa
dibaca saat kembali dari ruku’ (“Allahu Akbar”). Beliau membaca “Sami`allahu liman hamidah (Allah mendengar hamba yang memuji-Nya)”.
Selesai
shalat, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa beliau
ruku` lama sekali dan bacaan yang dibaca di saat bangkit dari ruku`
bukan takbir seperti biasanya.
Rasulullah SAW menjelaskan, “Pada
saat hendak ruku`, Malaikat Jibril AS datang dan menahanku untuk tidak
segera bangkit, menunggu kedatangan Ali, karena Allah SWT ridha dengan
apa yang dilakukan oleh Ali dengan menunjukkan ketinggian akhlaqnya,
sekalipun itu kepada orang Yahudi, dan Allah mendengar pujian yang
diucapkan oleh Ali. Itulah sebabnya aku mengucapkan ’Sami`allahu liman hamidah’.”
Setelah Anjing-anjing itu Kenyang
Dalam
riwayat yang lain diceritkan, suatu saat Imam Ahmad bin Hambal datang
ke suatu tempat yang jauh dari negerinya untuk mengambil hadits dari
seorang ulama yang dia ketahui banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW.
Sesampainya di kediaman sang syaikh, Imam Ahmad menjumpai syaikh itu sedang memberi makan puluhan ekor anjing.
Melihat kedatangan Imam Ahmad, sang syaikh mempersilakannya untuk menunggu di dalam rumah.
Imam Ahmad masuk ke dalam rumah dan duduk menunggu syaikh memberikan hadits kepadanya.
Setelah beberapa lama ia menunggu, syaikh tak juga kunjung masuk ke dalam rumah menemuinya, seakan-akan syaikh tidak mempedulikan kedatangannya.
Imam Ahmad masuk ke dalam rumah dan duduk menunggu syaikh memberikan hadits kepadanya.
Setelah beberapa lama ia menunggu, syaikh tak juga kunjung masuk ke dalam rumah menemuinya, seakan-akan syaikh tidak mempedulikan kedatangannya.
Merasa terlalu lama tidak diperhatikan
oleh tuan rumah, Imam Ahmad bermaksud beranjak dari tempat duduknya
untuk menemui syaikh. Namun, tiba-tiba syaikh muncul dari luar dan
menghampirinya.
Setelah bertanya asal, maksud, dan tujuan Imam Ahmad, sang syaikh berkata, “Mohon maaf bila aku tidak segera menemuimu dan memenuhi harapanmu datang kemari. Aku melakukan ini karena mengamalkan hadits Rasulullah SAW, ‘Barang siapa memutuskan harapan seseorang yang berharap padanya, niscaya Allah memutuskan harapannya, dan orang tersebut tidak akan masuk ke dalam surga.’ Aku mengetahui engkau mengharapkan sesuatu dariku. Namun di depan tadi ada banyak sekali anjing yang datang, tidak seperti biasanya. Mereka datang dalam keadaan lapar. Mereka tengah mengharap makanan dariku. Itulah sebabnya aku memenuhi dahulu harapan mereka, karena lebih dahulu datang ke tempat ini daripada engkau. Setelah harapan mereka terpenuhi dan semuanya merasa kenyang dengan makanan yang aku berikan, barulah aku menemuimu di sini.”
Imam Ahmad kagum dengan ketinggian akhlaq dan ketaqwaan syaikh yang didatanginya itu, dan ia pun kemudian mengambil hadits yang syaikh sampaikan tersebut dan meriwayatkannya.
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf
Riwayat-riwayat yang penuh teladan ini disampaikan oleh Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di majelis bulanan Zawiyah alKisah (15/4), yang juga disiarkan secara langsung oleh Radio Wadi 102 FM.
Meskipun kesehatannya kurang mengizinkan, Habib Umar, atau yang biasa disapa Ust. Umar, tetap datang ke majelis untuk memenuhi harapan majalah alKisah, karena ia ingin senantiasa menjalankan pesan Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal tersebut.
Selain itu, Habib Umar juga menekankan kepada jama’ah pentingnya berdzikir kepada Allah SWT. Karena dzikir adalah sebaik-baik amal di sisi Allah SWT. “Pergunakan waktu-waktu kita untuk selalu berdzikir kepada Allah. Karena setiap manusia yang meninggalkan dunia pasti akan menyesal. Sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Setiap anak Adam yang meninggal dunia pasti akan menyesal terhadap apa yang diperbuatnya. Yang shalih menyesal karena merasa kurang kebaikan-kebaikan yang ia lakukan selama di dunia. Dan yang durhaka menyesal karena tidak ada amal kebajikan yang dijadikan bekal untuk akhiratnya.’ Dan majelis dzikir yang paling utama, menurut para ulama, adalah majelis dzikir yang mengajarkan bagaimana kita shalat, puasa, zakat, dan seterusnya, yaitu majelis-majelis ilmu. Majelis yang mengajarkan bagaimana kita benar dalam beribadah kepada Allah SWT.”
Ratusan jama’ah yang hadir terlena dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Habib Umar. Udara yang sepoi-sepoi dan cuaca di luar yang mendadak teduh karena awan menutupi terik matahari, ditambah dengan alunan qashidah-qashidah indah yang dilantunkan oleh duet merdu Habib Muhammad bin Zeid Alhabsyi, dari Radio Wadi, dan Ali Sibra Malisi, dari alKisah, sebelum pembacaan Wirdul Lathif di mulai, menambah khidmat suasana majelis Zawiyah alKisah.
Tanpa
terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Karena masih ada
majelis yang harus dituju, Habib Umar terpaksa menutup majelis sebelum
mendekati maghrib. Namun sebelumnya ia memberikan waktu beberapa menit
kepada jama’ah untuk bertanya.
Dua orang jama’ah, Bapak Suharso, Rawamangun (Dari ES: Kalau tidak salah dari Rawasari), dan Bapak Adi, Pulo Gadung (Kalau tidak salah dari Tangerang), mengajukan pertanyaan. Habib Umar memberikan jawaban singkat tapi sangat memuaskan.
Kemudian majelis pun ditutup dengan doa oleh Habib Umar, dilanjutkan dengan ramah tamah. Suguhan khas kopi jahe ala habaib dan snack ringan melengkapi senyum jama’ah yang hadir. Senyum yang akan menjadi saksi pada hari Kiamat nanti terhadap kecintaan tulus mereka kepada dzuriyah Rasulullah SAW, ulama, dan ilmu….
Setelah bertanya asal, maksud, dan tujuan Imam Ahmad, sang syaikh berkata, “Mohon maaf bila aku tidak segera menemuimu dan memenuhi harapanmu datang kemari. Aku melakukan ini karena mengamalkan hadits Rasulullah SAW, ‘Barang siapa memutuskan harapan seseorang yang berharap padanya, niscaya Allah memutuskan harapannya, dan orang tersebut tidak akan masuk ke dalam surga.’ Aku mengetahui engkau mengharapkan sesuatu dariku. Namun di depan tadi ada banyak sekali anjing yang datang, tidak seperti biasanya. Mereka datang dalam keadaan lapar. Mereka tengah mengharap makanan dariku. Itulah sebabnya aku memenuhi dahulu harapan mereka, karena lebih dahulu datang ke tempat ini daripada engkau. Setelah harapan mereka terpenuhi dan semuanya merasa kenyang dengan makanan yang aku berikan, barulah aku menemuimu di sini.”
Imam Ahmad kagum dengan ketinggian akhlaq dan ketaqwaan syaikh yang didatanginya itu, dan ia pun kemudian mengambil hadits yang syaikh sampaikan tersebut dan meriwayatkannya.
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf

Meskipun kesehatannya kurang mengizinkan, Habib Umar, atau yang biasa disapa Ust. Umar, tetap datang ke majelis untuk memenuhi harapan majalah alKisah, karena ia ingin senantiasa menjalankan pesan Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal tersebut.
Selain itu, Habib Umar juga menekankan kepada jama’ah pentingnya berdzikir kepada Allah SWT. Karena dzikir adalah sebaik-baik amal di sisi Allah SWT. “Pergunakan waktu-waktu kita untuk selalu berdzikir kepada Allah. Karena setiap manusia yang meninggalkan dunia pasti akan menyesal. Sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Setiap anak Adam yang meninggal dunia pasti akan menyesal terhadap apa yang diperbuatnya. Yang shalih menyesal karena merasa kurang kebaikan-kebaikan yang ia lakukan selama di dunia. Dan yang durhaka menyesal karena tidak ada amal kebajikan yang dijadikan bekal untuk akhiratnya.’ Dan majelis dzikir yang paling utama, menurut para ulama, adalah majelis dzikir yang mengajarkan bagaimana kita shalat, puasa, zakat, dan seterusnya, yaitu majelis-majelis ilmu. Majelis yang mengajarkan bagaimana kita benar dalam beribadah kepada Allah SWT.”
Ratusan jama’ah yang hadir terlena dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Habib Umar. Udara yang sepoi-sepoi dan cuaca di luar yang mendadak teduh karena awan menutupi terik matahari, ditambah dengan alunan qashidah-qashidah indah yang dilantunkan oleh duet merdu Habib Muhammad bin Zeid Alhabsyi, dari Radio Wadi, dan Ali Sibra Malisi, dari alKisah, sebelum pembacaan Wirdul Lathif di mulai, menambah khidmat suasana majelis Zawiyah alKisah.

Dua orang jama’ah, Bapak Suharso, Rawamangun (Dari ES: Kalau tidak salah dari Rawasari), dan Bapak Adi, Pulo Gadung (Kalau tidak salah dari Tangerang), mengajukan pertanyaan. Habib Umar memberikan jawaban singkat tapi sangat memuaskan.
Kemudian majelis pun ditutup dengan doa oleh Habib Umar, dilanjutkan dengan ramah tamah. Suguhan khas kopi jahe ala habaib dan snack ringan melengkapi senyum jama’ah yang hadir. Senyum yang akan menjadi saksi pada hari Kiamat nanti terhadap kecintaan tulus mereka kepada dzuriyah Rasulullah SAW, ulama, dan ilmu….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar