Senin, 30 April 2012

Eee ... Malah Dapat Hadiah

Pada suatu siang Abu Nawas berada di istana ketika Raja Harun Ar-Rasyid sedang sibuk menerima rombongan tamu dari kerajaan sahabat. Saat itu hanya ada dua orang pelayan. Abu Nawas diminta untuk membantu kedua pelayan itu.
Ketika Abu Nawas sedang membawa semangkuk gulai yang masih panas untuk hidangan siang, tiba-tiba kakinya terpeleset. Gulai yang dibawanya pun tumpah dan sebagian mengenai muka sang raja.
Sebenarnya Raja sangat marah atas kejadian tersebut. Tetapi karena banyak tamu, ia tahan kemarahannya.
“Maafkan, Tuan-tuan, atas kelakuan pelayan kami yang kurang ajar tadi,” kata Raja.
Dari balik pintu tiba-tiba Abu Nawas membaca sepotong ayat Al-Qur’an, “.... Orang-orang yang bertaqwa, yaitu mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya....”
“Ya, aku memang sedang menahan amarah,” sahut sang raja.
“Dan memaafkan atas kesalahan orang...,” Abu Nawas meneruskan pembacaan ayat.
“Baik, aku memaafkanmu atas kesalahanmu,” sahut Raja.
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134),” Abu Nawas mengakhiri pembacaan ayat itu.
“Hai pelayan, kemari! Ini terimalah uang lima ratus dirham sebagai hadiah,” kata Raja. “Lain kali, tolong kamu siram lagi mukaku dengan gulai, biar kamu bisa menerima hadiah lebih besar lagi dariku.”

***

Salah satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah kemuliaan menahan amarah.
Mungkin ada sebagian orang yang menganggap, orang yang bisa mengumbar amarah adalah orang yang kuat. Tidak, tidak demikian.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Bukanlah kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah.” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad).

Pada suatu hari, Nabi melewati sekelompok kaum yang saling bergulat, maka beliau bertanya, “Apakah ini?”

Mereka menjawab, “Dia pegulat yang kuat, tidaklah seorang pun yang bergulat dengannya kecuali dia mengalahkannya.”

Kemudian beliau berkata, “Aku tunjukkan kepada kalian orang yang lebih kuat darinya, yaitu seorang yang dizhalimi namun ia menahan kemarahannya. Ia mengalahkan orang yang menzhaliminya dan mengalahkan setan yang ada pada dirinya serta mengalahkan setan yang ada pada saudaranya.” (HR Al-Bazzar).

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat.” (QS As-Syura’: 43).

Jelas dari kedua hadits dan surah Al-Qur’an di atas, justru orang yang mampu menguasai dirinya saat marah adalah orang yang kuat. Bukan orang yang mengumbar amarah dengan berteriak-teriak, mencaci maki, dan sebagainya, misalnya. Sebagaimana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, yang mungkin saja di antara pelakunya adalah saudara kita juga, umat Islam. Di jalanan, bahkan di televisi, yang ditonton seluruh rakyat negeri ini, juga dunia.

Tentu tidak berarti kita anti demo, karena adanya demonstrasi adalah salah satu ciri negeri yang demokratis. Hanya saja, demo yang Islami adalah demo yang tidak mencaci maki, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya hal yang demikian. Apalagi demo yang anarkis, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada penganutnya untuk merusak.

Bagi mereka yang mampu menahan amarah, Allah telah menyediakan ganjaran. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya, Allah Azza wa Jalla akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (HR Abu Daud).

Rasulullah juga bersabda, “Janganlah marah, maka bagimu adalah surga.” (Hadits shahih Al-Jami’).
Lebih dari itu semua, menahan amarah adalah perintah Nabi SAW. Dan karena itu perintah Nabi, tentu kita semua, sebagai umatnya, mesti melaksanakan.

Disebutkan dalam hadits, seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat.”
Beliau berkata, “Janganlah marah.”

Tahap selanjutnya, setelah mampu menahan amarah, yaitu memaafkan. Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan orang lain, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali Imran:134). “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).

Sering kita saksikan di televisi beberapa ahli mengatakan bahwa serang-menyerang antar-rezim terjadi karena dendam sejarah.

Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus diadili. Tapi dasarnya mestinya adalah upaya penegakan hukum dan keadilan, bukan dendam. Jika dendam yang dijadikan dasar, kesalahan yang kecil pun bisa terlihat besar. Seorang bijak mengatakan, dendam itu ibarat batu kerikil yang meluncur di lembah yang bersalju. Makin jauh, akan makin membesar.

Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili, atau mungkin harus diadili. Tapi, bukankah memaafkan itu lebih mulia?

Dalam konteks negeri ini, bisakah kita menutup semua lembaran sejarah kelabu masa lalu? Bisakah kita cukup menjadikannya sebagai pelajaran?

Demi membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang penuh kedamaian, bisakah kita menjadikan langkah kita sekarang ini sebagai langkah awal yang terbebas dari segala macam konflik, atau setidaknya meminimalisir? Kalau kita ikhlas, mau, dan mampu mengendalikan sifat marah, jawabannya jelas: Bisa!

Mengatasi Kemarahan

Untuk mengatasi kemarahan, Islam memberikan petunjuk.
Pertama, berlindung kepada Allah dari godaan setan. Karena, di samping nafsu yang ada dalam diri kita, peran setan juga sangat dominan dalam membangkitkan amarah.  Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui satu kalimat yang, seandainya diucapkan, niscaya akan hilanglah gejolak yang ada pada diri:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR Bukhari-Muslim).
Kedua, diam, tidak berbicara. “Apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah diam.” (HR Imam Ahmad).

Ketiga, tinggalkan tempat, berdirilah, lalu pergi.
Keempat, bersikap tenang, duduk apabila sedang berdiri, atau tidur telentang bilamana sedang duduk. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian marah sedangkan dia berdiri, hendaklah dia duduk, agar kemarahannya hilang. Apabila masih belum mereda, hendaklah berbaring.” (HR Abu Daud).

Kelima, berwudhu. Nabi bersabda, “Marah itu adalah bara api, maka padamkanlah dia dengan berwudhu’.” (HR. Al-Baihaqi).

Keenam, shalat. "Penghapus setiap perselisihan adalah dua raka’at (shalat sunnah).” (HR Silsilah Hadits Shahihah).

Marah yang Terpuji
Pada umumnya marah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya marah karena ajaran-ajaran Allah dihinakan.

Kasus Ahmadiyah, misalnya. Dalam aqidah Islam, jelas, tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Pengakuan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dapat dikategorikan sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.

Opini : Apa Kata Habib Luthfi Bin Yahya, tentang Anggota Dewan

Tak Perlu Belajar Lagi ke Luar

Kebanggaan saya pada para anggota Dewan itu luntur ketika kita semua melihat fakta betapa sering anggota Dewan kita melakukan studi banding ke luar negeri.


Salah satu acara di televisi yang paling saya sukai adalah acara debat. Mengapa? Dari acara seperti itu, kita akan mendapatkan banyak pencerahan.
Majalah Islam alKisahDari acara seperti itu kita juga tahu, sesungguhnya negara kita, Indonesia, memiliki banyak orang yang pandai.

Apalagi kalau yang tampil adalah para anggota Dewan. Saya melihat, sesungguhnya banyak di antara mereka yang bobot pembicaraannya luar biasa. Misalnya ketika memberikan argumentasi tentang RAPBN-P yang baru lalu.



Saya begitu bangga. Mereka berbicara tidak hanya pada level teori. Pada tingkatan praktek, yang sangat terperinci, mereka pun menguasai.
Sekali lagi, saya sungguh bangga dengan para anggota DPR kita. Mereka begitu pede, percaya diri, dengan berbagai pendapat mereka.

Begitu juga dengan sang pemimpin, Bapak Marzuki Ali. Penampilannya telah jauh berbeda dengan yang dulu, yang masih tampak emosional. Kali itu, beliau sungguh kelihatan sangat kebapakan, dengan kata-kata yang khas, “Baiklah....” Ya, seorang pemimpin memang layaknya seorang bapak, yang mau mendengar ungkapan hati anak-anaknya.

Namun, kebanggaan saya itu luntur ketika kita semua melihat fakta betapa sering anggota Dewan kita melakukan studi banding, atau bahasa lugasnya “ingin belajar lagi”, ke luar negeri. Seperti yang dilakukan ke Jerman baru-baru ini, yang bahkan mendapat penolakan dari pelajar Indonesia yang belajar di sana. Bahkan, penolakan yang sama sudah terjadi beberapa kali.
Majalah Islam alKisah
Saya berpendapat, tidak perlu anggota Dewan kita melakukan studi banding. Bukan karena sekadar pertimbangan biaya, yang mahal. Tapi lebih pada faktor kemampuan dan keunggulan para anggota Dewan.

Unggul? Ya, terlepas dari fakta bahwa ada beberapa UU, produk anggota Dewan (plus pemerintah), yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi – dan mungkin akan ada beberapa lagi, bukan undang-undangnya secara keseluruhan, melainkan sebagian pasalnya –nyatanya sudah sangat banyak undang-undang yang dihasilakn DPR bekerja sama dengan pemerintah.

Kualitasnya? Tidak diragukan. Bahkan hampir sebagian besar pakar mengatakan bahwa, dari segi teori, segala undang-undang kita itu sudah sangat baik. Persoalannya hanya pada tataran penerapan.

Jadi, sebaiknya DPR lebih fokus pada masalah itu. Masalah penerapan, yang sering tidak sesuai teorinya. Tidak perlu belajar kepada orang lain, studi banding ke luar negeri. 

Kalau toh mau berguru, karena belajar adalah kewajiban, dari buaian hingga sebelum masuk liang lahat, mengapa tidak berguru kepada para pakar kita sendiri? Begitu banyak orang Indonesia yang bergelar profesor doktor.
Majalah Islam alKisah
Dalam konteks menuntut ilmu, Habib Luthfi bin Yahya, ketua Jatman (Jam`iyyah Ahlith-Thariqah Al-Mu`tabarah), memberi nasihat bahwa sebaiknya murid berguru kepada para guru yang terdekat, baru kemudian kepada guru yang jauh.

Jadi, bukannya studi banding keluar negeri itu tidak berguna. Namun, jika ada cara lain yang lebih baik, dari berbagai sisi, termasuk penghematan, yang sering menjadi sasaran kritik, mengapa tidak menempuh cara itu?

Mudah-mudahan semua masukan menjadi bahan introspeksi para anggota Dewan. Amin....

Ta'lim Bersama Habib Abdurrahman Basurah

Di akhir zaman tidak ada amalan yang pasti diterima oleh Allah SWT selain bershalawat kepada Rasulullah SAW
Seminggu sepeninggal Rasulullah SAW, seorang Badwi datang ke Madinah. Ia bermaksud menjumpai Nabi.
Sesampainya di Madinah, ia menanyai sahabat yang dijumpainya. Tapi dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah wafat seminggu sebelumnya dan makamnya ada di samping masjid, di kamar Aisyah, istri Rasulullah SAW.

Badwi itu pun sangat bersedih, air matanya bercucuran, karena tak sempat berjumpa dengan Nabi SAW.
Segera ia menuju makam Rasulullah SAW. Di hadapan makam Nabi, ia duduk bersimpuh, mengadukan dan mengutarakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Dengan linangan air mata, ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau rasul pilihan, makhluk paling mulia di sisi Allah. Aku datang untuk berjumpa denganmu untuk mengadukan segala penyesalanku dan gundah gulana hatiku atas segala kesalahan dan dosa-dosaku, namun engkau telah pergi meninggalkan kami. Akan tetapi Allah telah berfirman melalui lisanmu yang suci, ‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – QS An-Nisa (4): 64.

Kini aku datang kepadamu untuk mengadukan halku kepadamu, penyesalanku atas segala kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat di masa laluku, agar engkau mohonkan ampunan kepada Allah bagiku….”
Setelah mengadukan segala keluh kesah yang ada di hatinya, Badwi itu pun meninggalkan makam Rasulullah SAW.

Kala itu di Masjid Nabawi ada seorang sahabat Nabi SAW tengah tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah. Beliau berkata, “Wahai Fulan, bangunlah dan kejarlah orang yang tadi datang kepadaku. Berikan khabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mendengar permohonannya dan Allah telah mengampuninya atas segala kesalahan dan dosanya….”

Sahabat tadi terbangun seketika itu juga. Tanpa berpikir panjang ia pun segera mengejar orang yang dikatakan Rasulullah SAW dalam mimpinya.
Tak berapa lama, orang yang dimaksud pun terlihat olehnya. Sahabat itu memanggilnya dan menceritakan apa yang dipesankan Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Perintah Allah SWT

Penggalan kisah itu diceritakan oleh Habib Abdurrahman Basurrah dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di majelis bulanan alKisah (18/10). Habib Abdurrahman mengingatkan pentingnya mengagungkan Rasulullah SAW. Mengagungkan Rasulullah merupakan kewajiban yang diperintahkan syari’at. Tapi bukanlah menuhankan beliau. Mengagungkan dan menyanjung Nabi SAW berarti menaati perintah Allah SWT.

Dalam Al-Quran, Allah SWT selalu memanggil para nabi dengan menyebut namanya. Seperti firman Allah SWT kepada Nabi Adam AS, “Allah berfirman, ‘Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini…’.” – QS Al-Baqarah (2): 33. Namun, Allah mengecualikan Rasul-Nya, Muhammad SAW, dengan panggilan yang khusus dan agung. Allah tidak memanggil namanya, melainkan selalu memanggilnya dengan sifat-sifat atau predikatnya. Seperti firman Allah SWT, “Wahai orang yang berselimut.” – QS Al-Muddatsir (74): 1. Ini menunjukkan, Allah mengistimewakan Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, menurut Habib Baurrah, Imam Abul Hasan Ali Asy-Syadzilli pernah berkata, “Di akhir zaman tidak ada amalan yang lebih baik daripada bershalawat kepada Rasulullah SAW.” Ungkapan ini disandarkan pada firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” – QS Al-Ahzab (33): 56. Juga hadits shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Adapun maksud ucapan Imam Abul Hasan Asy-Syadzilli tersebut adalah bahwa tidak ada amalan yang pasti diterima kecuali shalawat kepada Rasulullah SAW. Karena semua amalan disyaratkan padanya niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Amalan yang dilakukan dengan riya’ dan sum`ah, ingin dipuji dan didengar orang lain, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Namun shalawat kepada Nabi SAW, para ulama bersepakat, bagaimanapun shalawat itu diucapkan, pasti diterima oleh Allah SWT, bahkan sekalipun orang yang mengucapkannya itu melakukannya dengan riya’, misalnya.

Itulah sebabnya para ulama mengatakan, sanjungan kepada Rasulullah SAW, bagaimanapun bentuk dan tingginya, tidak akan pernah menyamai ketinggian dan keagungan derajat beliau, karena keagungan yang beliau miliki datangnya dari Allah SWT, Yang Mahaqadim. Maka tidak mungkin dan tidak akan pernah pujian dan sanjungan makhluk menyamai pujian dan sanjungan-Nya, yang kekal dan abadi. “Bila demikian, tidak ada kata berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan Rasulullah SAW,” tutur Habib Basurrah menutup taushiyahnya.

Bagai di Kaki Gunung

Peringatan Maulid Nabi SAW majelis bulanan Zawiyah alKisah kali ini, selain dihadiri  karyawan Aneka Yess! Group, penerbit majalah alKisah, juga dihadiri pembaca setia alKisah di wilayah Jabodetabek. Hadir pula para habib asal Pekalongan, antara lain Habib Idrus Shahab, Habib Faried Assegaf, Habib Faik Hinduan, Habib Abdurrahman, Habib Lukman Bilfagih.

Acara diawali dengan penampilan kelompok hadrah Utan Kayu, yang membawakan beberapa lagu pujian dan shalawat kepada Rasulullah SAW. Dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Simthud Durar oleh Habib Abdurrahman Basurrah.

Iringan hadrah dan lantunan merdu shalawat yang menyelingi pembacaan Simthud Durar membuat suasana semakin khusyu’, terlebih dengan semerbaknya wewangian dupa dan bunga rampai Maulid khas Pekalongan, dan menenteramkan hati segenap hadirin, ditambah lagi udara dan cuaca yang cerah, menjadikan suasana majelis semakin terasa damai dan tenteram. Detik demi detik, menit demi menit tak terasa berlalu. Hadirin dibuai kekhusyu’an dan perasaannya masing-masing, menyimak untaian kisah Maulid yang terus mengalir.

Nuansa kerinduan kepada Rasulullah SAW semakin terasa pada saat asyraqal atau mahallul qiyam dikumandangkan dengan nada yang indah, diiringi irama hadrah yang syahdu. Ratusan jama’ah yang hadir memenuhi ruangan terlihat menuangkan ekpresiknya masing-masing mengikuti lantunan asyraqal.

Menjelang maghrib, acara pun ditutup dengan doa dan ramah tamah sambil menikmati hidangan yang disediakan panitia. Yaitu, nasi tomat yang gurih, dihidangkan langsung oleh shaibul bayt, Hj. Nuniek H. Musawa. Juga martabak dan kelengkeng kiriman dari Dian Rakyat. 

Tak lama kemudian, adzan maghrib berkumandang. Jama’ah segera mempersiapkan diri untuk mengikuti shalat Maghrib berjama’ah. Mereka berwudhu di pancuran bambu, yang berbalutkan sabut kelapa, seperti pancuran yang mengalir dari bukit di kaki gunung, di halaman kantor alKisah.

Setelah selesai shalat dan doa bersama, yang dipimpin oleh Habib Basurrah, jama’ah bersalam-salaman dan meninggalkan majelis, dan insya Allah akan kembali lagi sebulan yang akan datang. Amin.…  

Ta'lim Bersama Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf


“Majelis dzikir yang paling utama adalah majelis yang mengajarkan bagaimana kita benar dalam beribadah kepada Allah SWT.”
Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW mendapat berita bahwa seorang sahabat yang tinggal jauh dari Madinah telah wafat. Ketika itu Rasulullah baru saja bermaksud menanyakan kabar terakhir sahabat itu, karena sebelumnya beliau mendengar bahwa ia sakit dan beliau belum sempat menjenguk karena jarak yang begitu jauh.

Mendengar berita bahwa sahabat yang ditanyakan telah wafat, Rasulullah SAW bertanya kepada orang yang membawa berita, “Apakah ia mengatakan sesuatu sebelum meninggalnya?”
Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

“Apa yang diucapkannya?” tanya Rasulullah SAW.

“Andaikan Dulu...”

“Ia mengucapkan, ‘Aduhai, coba andaikan dulu itu banyak. Aduhai, coba andaikan dulu itu baru. Aduhai, coba andaikan dulu itu sempurna.’ Dan sungguh kami semua tidak mengerti apa yang dimaksudkannya dengan ‘banyak, baru, dan sempurna’ itu,” tutur sahabat pembawa berita tadi kepada Nabi SAW.

“Maksud ucapannya ‘andaikan dulu itu banyak’, suatu ketika ia hendak melaksanakan shalat berjama’ah. Di jalan, ia berjumpa seorang yang buta. Maka ia menuntun orang buta itu menuju masjid untuk shalat berjama’ah. Pada saat ia hendak meninggal, Allah SAW tunjukkan betapa besarnya pahala amalnya ketika menuntun orang tua buta menuju masjid itu. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan dulu itu banyak.’ Banyak kesempatan menolong orang buta dan kesempatan baik lainnya untuk tidak disia-siakan, karena begitu besar pahalanya.

Ucapannya ‘andaikan dulu itu baru’, maksudnya, suatu ketika ia keluar hendak shalat Shubuh berjama’ah. Kala itu cuaca teramat dingin dan berkabut. Di tengah jalan ia menjumpai orang tua di pinggir jalan tengah menggigil kedinginan, mungkin tidak akan selamat karena menahan dingin yang begitu mencekam kalau tidak segera ditolong. Pada saat itu si Fulan mengenakan dua lapis pakaian, sehelai pakaian yang baru dan sehelai lainnya sudah usang. Melihat kondisi orang itu, ia melepaskan pakaian tebalnya yang sudah usang dan memberikannya kepada si tua yang tengah menggigil kedinginan. Pada saat hendak meninggal, Allah SWT tunjukkan betapa besar pahala yang akan diterimannya karena telah memberikan baju usangnya kepada si tua itu. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan dulu itu baru.’ Bukan yang usang yang ia berikan kepada orang tua itu. Pastilah lebih besar lagi pahala yang akan Allah SWT berikan.

Adapun ucapannya ‘andaikan dulu itu sempurna’, madsudnya, suatu ketika ia pergi berdagang seperti kebiasaannya. Sepulang berdagang ia segera menemui istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan yang tersedia, karena lapar sudah teramat terasa sehingga tubuhnya mulai lemas. Sang istri memberitahukan bahwa tidak ada makanan yang tersisa kecuali hanya sekerat roti kering. Karena sudah tak lagi mampu menahan rasa lapar, ia meminta istrinya untuk segera mengambil roti tersebut dengan segelas air untuk mengganjal perutnya. Baru saja hendak menyantap roti itu, tiba-tiba terdengar ada seseorang mengetuk pintu dari luar. Buru-buru ia membuka pintu dan didapatinya seorang tua lusuh berdiri di depan pintu. Orang itu memohon agar ia sudi memberikan makanan untuk menghilangkan rasa laparnya yang sudah teramat berat dirasakan karena seharian tidak menemukan makanan apa pun. Menyaksikan orang tua nan teramat lusuh itu, hatinya merasa iba. Sekerat roti yang hendak dimakannya tadi ia belah menjadi dua bagian dan ia memberikan satu bagian kepada orang tua lusuh tadi. Pada saat menjelang kematiannya, Allah SWT memperlihatkan besarnya pahala yang akan diterimanya karena amalanya menolong orang tua lusuh itu dengan memberinya sepotong roti. Itulah sebabnya ia berkata, ‘Andaikan dulu itu sempurna.’ Sempurna yang ia berikan kepada orang tua yang lapar itu, pastilah akan lebih besar dan sempurna lagi pahala serta balasan yang akan diterimannya,” tutur Rasulullah SAW menjelaskan kepada para sahabat yang ada di sekeliling beliau pada saat itu tentang maksud ucapan sahabat yang diberitakan telah meninggal dunia tersebut.

Menghormati Orang Tua

Dalam riwayat yang lain, suatu ketika Imam Ali bin Abi Thalib RA hendak menuju masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah. Di tengah jalan, ia perlahankan langkahnya karena di depannya terdapat orang tua yang juga berjalan pada arah yang sama. Imam Ali terus berjalan di belakang orang tua itu dan tidak mendahuluinya meskipun ia tahu akan tertinggal jama’ah.
Begitu mulia akhlaq Imam Ali dalam menghormati orang tua. Ini karena ia selalu mengingat sabda Rasulullah SAW, “Bukan golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang tua di antara kami dan tidak menyayangi orang yang kecil di antara kami.”

Setelah beberapa saat berada di belakang orang tua itu, sesampainya di depan masjid, ternyata orang tua itu tidak masuk ke dalam masjid, karena ternyata dia orang Yahudi.

Imam Ali kemudian memuji Allah SWT. Ia berucap, “Alhamdulillah.”

Di dalam masjid, Rasulullah SAW tengah mengimami shalat berjama’ah. Ketika Imam Ali masuk ke dalam masjid, Rasulullah dan para sahabat sedang ruku’ rakaat keempat. Agak lama beliau tetap dalam posisi ruku’ sampai Imam Ali masuk ke dalam shaf. Setelah itu barulah Rasulullah mengangkat kepalanya. Dan kali itu Rasulullah tidak membaca bacaan yang biasa dibaca saat kembali dari ruku’ (“Allahu Akbar”). Beliau membaca “Sami`allahu liman hamidah (Allah mendengar hamba yang memuji-Nya)”.

Selesai shalat, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa beliau ruku` lama sekali dan bacaan yang dibaca di saat bangkit dari ruku` bukan takbir seperti biasanya.

Rasulullah SAW menjelaskan, “Pada saat hendak ruku`, Malaikat Jibril AS datang dan menahanku untuk tidak segera bangkit, menunggu kedatangan Ali, karena Allah SWT ridha dengan apa yang dilakukan oleh Ali dengan menunjukkan ketinggian akhlaqnya, sekalipun itu kepada orang Yahudi, dan Allah mendengar pujian yang diucapkan oleh Ali. Itulah sebabnya aku mengucapkan ’Sami`allahu liman hamidah’.”

Setelah Anjing-anjing itu Kenyang

Dalam riwayat yang lain diceritkan, suatu saat Imam Ahmad bin Hambal datang ke suatu tempat yang jauh dari negerinya untuk mengambil hadits dari seorang ulama yang dia ketahui banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW.
Sesampainya di kediaman sang syaikh, Imam Ahmad menjumpai syaikh itu sedang memberi makan puluhan ekor anjing.
Melihat kedatangan Imam Ahmad, sang syaikh mempersilakannya untuk menunggu di dalam rumah.
Imam Ahmad masuk ke dalam rumah dan duduk menunggu syaikh memberikan hadits kepadanya.
Setelah beberapa lama ia menunggu, syaikh tak juga kunjung masuk ke dalam rumah menemuinya, seakan-akan syaikh tidak mempedulikan kedatangannya.
Merasa terlalu lama tidak diperhatikan oleh tuan rumah, Imam Ahmad bermaksud beranjak dari tempat duduknya untuk menemui syaikh. Namun, tiba-tiba syaikh muncul dari luar dan menghampirinya.

Setelah bertanya asal, maksud, dan tujuan Imam Ahmad, sang syaikh berkata, “Mohon maaf bila aku tidak segera menemuimu dan memenuhi harapanmu datang kemari. Aku melakukan ini karena mengamalkan hadits Rasulullah SAW, ‘Barang siapa memutuskan harapan seseorang yang berharap padanya, niscaya Allah memutuskan harapannya, dan orang tersebut tidak akan masuk ke dalam surga.’ Aku mengetahui engkau mengharapkan sesuatu dariku. Namun di depan tadi ada banyak sekali anjing yang datang, tidak seperti biasanya. Mereka datang dalam keadaan lapar. Mereka tengah mengharap makanan dariku. Itulah sebabnya aku memenuhi dahulu harapan mereka, karena lebih dahulu datang ke tempat ini daripada engkau. Setelah harapan mereka terpenuhi dan semuanya merasa kenyang dengan makanan yang aku berikan, barulah aku menemuimu di sini.”

Imam Ahmad kagum dengan ketinggian akhlaq dan ketaqwaan syaikh yang didatanginya itu, dan ia pun kemudian mengambil hadits yang syaikh sampaikan tersebut dan meriwayatkannya.

Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf

Riwayat-riwayat yang penuh teladan ini disampaikan oleh Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di majelis bulanan Zawiyah alKisah (15/4), yang juga disiarkan secara langsung oleh Radio Wadi 102 FM.
Meskipun kesehatannya kurang mengizinkan, Habib Umar, atau yang biasa disapa Ust. Umar, tetap datang ke majelis untuk memenuhi harapan majalah alKisah, karena ia ingin senantiasa menjalankan pesan Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal tersebut.

Selain itu, Habib Umar juga menekankan kepada jama’ah pentingnya berdzikir kepada Allah SWT. Karena dzikir adalah sebaik-baik amal di sisi Allah SWT. “Pergunakan waktu-waktu kita untuk selalu berdzikir kepada Allah. Karena setiap manusia yang meninggalkan dunia pasti akan menyesal. Sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Setiap anak Adam yang meninggal dunia pasti akan menyesal terhadap apa yang diperbuatnya. Yang shalih menyesal karena merasa kurang kebaikan-kebaikan yang ia lakukan selama di dunia. Dan yang durhaka menyesal karena tidak ada amal kebajikan yang dijadikan bekal untuk akhiratnya.’ Dan majelis dzikir yang paling utama, menurut para ulama, adalah majelis dzikir yang mengajarkan bagaimana kita shalat, puasa, zakat, dan seterusnya, yaitu majelis-majelis ilmu. Majelis yang mengajarkan bagaimana kita benar dalam beribadah kepada Allah SWT.”

Ratusan jama’ah yang hadir terlena dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Habib Umar. Udara yang sepoi-sepoi dan cuaca di luar yang mendadak teduh karena awan menutupi terik matahari, ditambah dengan alunan qashidah-qashidah indah yang dilantunkan oleh duet merdu Habib Muhammad bin Zeid Alhabsyi, dari Radio Wadi, dan Ali Sibra Malisi, dari alKisah, sebelum pembacaan Wirdul Lathif di mulai, menambah khidmat suasana majelis Zawiyah alKisah.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Karena masih ada majelis yang harus dituju, Habib Umar terpaksa menutup majelis sebelum mendekati maghrib. Namun sebelumnya ia memberikan waktu beberapa menit kepada jama’ah untuk bertanya.

Dua orang jama’ah, Bapak Suharso, Rawamangun (Dari ES: Kalau tidak salah dari Rawasari), dan Bapak Adi, Pulo Gadung (Kalau tidak salah dari Tangerang), mengajukan pertanyaan. Habib Umar memberikan jawaban singkat tapi sangat memuaskan.

Kemudian majelis pun ditutup dengan doa oleh Habib Umar, dilanjutkan dengan ramah tamah. Suguhan khas kopi jahe ala habaib dan snack ringan melengkapi senyum jama’ah yang hadir. Senyum yang akan menjadi saksi pada hari Kiamat nanti terhadap kecintaan tulus mereka kepada dzuriyah Rasulullah SAW, ulama, dan ilmu….   

Selasa, 24 April 2012

Siswa Mencontek, Pengawas Cuek

Liputan6.com, Ponorogo: Hari kedua ujian nasional tingkat SMP, Selasa (24/4), di sejumlah daerah diwarnai aksi saling contek. Bahkan sejumlah peserta bebas mengobrol tanpa ditegur pengawas yang ada di tiap ruang ujian.

Hal itu tampak terlihat di salah satu sekolah SMP Ponorogo, Jawa Tengah. Sejumlah peserta ujian asyik mengobrol dan saling mencontek meski ada pengawas. Namun, para pengawas terkesan membiarkan kecurangan tersebut. Longgarnya pengawasan dibenarkan salah satu siswa.

Sementara di tempat terpisah, aksi contek para peserta ujian nasional pun terlihat di sekolah SMP Negeri Purworejo, Jawa Tengah. Seorang siswi berusaha menyontek dengan membuka lembaran kecil di pangkuannya. Di saat yang sama, sejumlah peserta lain tampak mengobrol. Pengawas ujian membiarkan sikap tak terpuji para anak didik.

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, sepuluh ruang ujian di SMP Negeri 5 dipasangi kamera pengintai guna menghindari perilaku tak terpuji para siswa. Kamera tersebut dihubungkan ke sejumlah monitor di sebuah ruangan para pengawas. Para siswa tak berkutik karena menyadari adanya kamera pengintai tersebut.

Ujian nasional tingkat SMP dan Madrasah Tsanawiyah atau sederajat tahun 2012 diikuti oleh sekitar 3,7 juta siswa. Ujian ini digelar mulai hari ini, Senin (23/4) hingga Kamis mendatang. Mata pelajaran yang diujikan ialah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bagi siswa yang tak dapat mengikuti ujian saat ini, ujian susulan akan digelar pada 30 April, 1 Mei, 3 Mei, dan 4 Mei mendatang.

Mengenai Saya

Foto saya
Teruslah berkarya dan menghasilkan karya untuk orang banyak sebagai bukti kita bermanfaat. dan itu adalah sebaik baik manusia dihadapan Allah SWT. Jangan Lupa Lihat dan baca serta ikuti terus : KHEIR and MELL'S BLOG.

Followers